Minggu, 12 Juni 2016

PERAN MAHASISWA HINDU



PERAN MAHASISWA HINDU DALAM MEMBANGUN UMAT

"te sūnavaḥ svapsaḥ sudasaso
mahī jañur mātarā pūrvacittaye
sthātuś ca satyam jagatas ca dharmaṇi
putrasya pāthaḥ padama advayāvinaḥ"
"Putra-putra (generasi muda) ini amat giat dan memiliki kemampuan
yang mengagumkan, menghormati orang tuanya dan taat terhadap perintah
(nasehat) nya. Mereka maju untuk kesejahtraan semua mahluk, yang senantiasa menunjukkan diri sebagai putra yang penuh aktivitas" (Ṛgveda I.159.3)

Seperti apa yang dijelaskan dalam Veda diatas, bahwa generasi muda adalah orang-orang yang giat, memiliki kemampuan mengagumkan, beretika, berbuat untuk kepentingan semua makhluk, dan juga generasi yang penuh aktivtas, dalam hal ini sebagai mahasiswa Hindu seharusnya kita mampu mengimplementasikan apa yang telah tersirat dalam ajaran veda dan hakikat kita sebagai seorang mahasiswa yang menyandang predikat sebagai kaum Intelek atau kaum terpelajar.
Namun pada kenyataanya hari ini apa yang disebutkan diatas masih jauh dari harapan kita, Dalam dunia keorganisasian di lingkungan kampus, baik di lingkup jurusan, fakultas atau universitas, gaung dan eksistensi seorang mahasiswa hindu ternyata masih minim. Bisa dilihat dari kurangnya peran aktif mahasiswa hindu di posisi strategis dalam struktur organisasi kampus (BEM, himpunan jurusan, keluarga mahasiswa, kelompok ke-hobi-an, UKM, dsb.) Hal ini menjadikan kurang “terkenal”nya Mahasiswa hindu dalam kontestasi pergaulan dunia keorganisasian kampus.
“Ah, males ikut yang begituan. Ga jelas. Ga nyambung sama orang-orangnya. Mending kuliah yang rajin, cepat lulus dan langsung kerja di perusahaan asing. Gajih gede. Nikah deh..”.  Ya! Kira-kira begitu ilustrasi jawaban seseorang mahasiswa hindu ketika diajak berbicara tentang organisasi, Tapi realitanya memang begitu, masih banyak mahasiswa yang ternyata antipati terhadap keberadaan organisasi kampus. Keberadaan organisasi dianggap tidak terlalu berpengaruh terhadap kepentingannya. Belum lagi desakan dari orang tua mahasiswa di kampung yang mendesak lulus sesegera mungkin karena biaya pendidikan yang semakin tinggi,       biaya hidup di dunia rantau yang semakin menjadi-jadi sudah mencekik  perekonomian keluarga. Semakin cepat lulus, semakin baik, beban orang tua sebagai “penyuplai” materi finansial ke dunia rantau selama ini bisa lebih ringan apalagi bisa langsung kerja. Luar biasa, nak! Itu impian sebagian besar orang tua mahasiswa.
Semangat untuk berorganisasi dan menjadi aktivis kampus memang masih redup di kalangan Mahasiswa hindu. Padahal sejatinya, banyak “sesuatu” yang baru yang sulit atau mungkin tidak bisa kita pelajari dari pustaka manapun. Ini semua terkait dengan softskill kita dalam rangka menunjang karier di masa depan.  Perlu diketahui, tidak melulu dengan bermodal Indeks Prestasi 3,8 atau bahkan mencapai 4 seseorang bisa mendapatkan posisi karier masa depan yang diimpikan. Semua kembali lagi kepada pengalaman, kerja keras, semangat juang dan “jam terbang” seseorang saat berada dalam “kawah candradimuka” kampus. Sehingga ketika terjun dalam dunia kerja, siap mengimplementasikan ilmunya di masyarakat dengan visi-visi perdamaian kemanusiaan. Di dalam organisasi-lah mental seseorang bisa ditempa, sebagai tempat mengaktualisasi diri, berinteraksi dengan semua orang, mempelajari berbagai karakter individu, bernegosiasi, ilmu manajemen, kecakapan mengelola waktu dan menambah networking. Perlu diingat lagi, sebagai mahasiswa Hindu, kita adalah individu-individu pilihan yang sebelumnya telah bersaing dengan ribuan orang melalui proses seleksi masuk perguruan tinggi yang ketat, kita adalah orang-orang beruntung karena tidak semua orang memiliki kesempatan yang sama menjadi seorang mahasiswa Ya toh? So, tunggu apa lagi? Gunakan sebaik-baiknya kesempatan emas ini untuk selalu meng-upgrade diri. Suatu saat, kita semua menetas sebagai individu-individu yang bersama berjibaku untuk membangun bangsa.
Mahasiswa, selain sedang mengecap dunia akademis yang menjadikannya berpikir empiris dan teoretis, serta tidak terikatnya kepada berbagai kepentingan, seyogyanya menjadikan mahasiswa Hindu memiliki perspektif dan pandangan luas untuk dapat bergerak di semua lapisan masyarakat.  Sehingga tidak berlebihan, ketika kepada mahasiswa disematkan predikat agent of changes (agen perubahan), agent of social control (agen kontrol sosial), dan iron stock (calon pemimpin). Tidak perlu muluk-muluk, paling tidak tiga merk ini bisa dijadikan sebagai pembentuk karakter mahasiswa Hindu, selain banyak lagi poin-poin yang menjadikan mahasiswa berkarakter. Namun landasan terpenting dari semuanya itu hanya satu kata, yang kini telah dilupakan, yaitu KEJUJURAN.
Agent of change
Sudahkah kita sebagai mahasiswa Hindu menyadari perannya atau setidaknya berkontribusi sedikit pada sebuah perubahan? Misalnya dari tiga kerangka dasar agama Hindu, sudahkah mahasiswa Hindu berpikir untuk mengkaji beberapa poin dari tatwa, lalu dengan cerdas meneliti implementasinya dalam masyarakat Hindu, lalu berpikir pula untuk mengembangkannya dengan landasan dharma sidhyartha (iksa, shakti, desa, kala, tatwa). Sudahkah mahasiswa mencoba meneliti sejauh mana etika sebagai perekat antara tatwa dan acara, sudah terimplementasi dalam interaksi sesama umat Hindu? Mahasiswa Hindu harus berani menjadi pionir-pionir perubahan. Tentu, yang pertama adalah berani merubah perilaku diri sendiri, sehingga mempunyai brand atau merk sebagai identitas manusia Hindu. Bahkan harus siap tampil beda, jangan dengan mudah menjual diri, melacurkan intelektualitas yang sudah sejak awal berpondasikan kehinduan. Kemudian dilanjutkan dengan membangun kemandirian, sebagai modal penting untuk menawarkan perubahan kepada lingkungan, khususnya masyarakat Hindu. untuk itu diperlukan penguasaan etika, cara-cara yang elegan, santun dan konsisten. Modal untuk menumbuhkan keberanian sebagai agent of changes di masyarakat akan didapatkan di kampus selama masa pendidikan; oleh karena itu pembelajaran selama periode di kampus bukan hal yang remeh. Kampus bukan tempat untuk istirahat, tetapi untuk menempa diri. Banyak sekali yang bisa dijadikan obyek yang sudah selayaknya mengalami perubahan sebagai bagian dari riset dan pengembangan Hindu. Tetapi semua itu harus bermula dari tiga kerangka dasar tadi.

Agent of Social Control
Kebiasaan yang sudah dipupuk untuk tidak mau tahu terhadap gejolak-gejolak sosial di kalangan masyarakat Hindu harus menjadi perhatian para mahasiswa. Ketidakpedulian terhadap kondisi umat Hindu di banyak wilayah di Indonesia ataupun di lingkungan kampus sendiri juga tidak boleh diabaikan begitu saja. Diperlukan kepekaan sosial terhadap semua yang terjadi, khususnya menyangkut kondisi sosial umat. Tidak perlu jauh-jauh, di sekitaran kita saja, misalnya, tidak sedikit umat Hindu yang kondisi sosial ekonominya sangat tertinggal, sehingga tidak mampu menyekolahkan anaknya. Kondisi ini tidak muncul ke permukaan, karena mereka malu, dan merasa tersisih serta terpinggirkan. Ini juga harus menjadi perhatian bersama.
Jangan pernah berpikir bahwa anda telah melaksanakan kewajiban sebagai umat Hindu secara utuh, karena secara individu telah melakukan berbagai kegiatan. Selama, ruang lingkupnya individu, maka sesungguhnya anda baru melaksanakan dharma sebagian saja, belum seutuhnya. Anda baru melaksanakan swadharma anda sebagai mahluk individu, belum sebagai mahluk sosial. Anda masih punya kewajiban yang belum terlaksana terhadap umat Hindu lain, khususnya yang membutuhkan uluran tangan. Jangan biarkan mereka ber Hindu sendirian, jangan mengangkangi kehinduan sendirian pula. Mahasiswa harus menjadi bagian dari kontrol sosial walaupun dalam lingkup terbatas, misalnya, untuk memonitor dengan kepekaan terhadap kondisi sosial tadi. Lalu, menganalisanya, mendiskusikannya dan berupaya menyampaikan kepada otoritas, dalam hal ini lembaga-lembaga yang punya kepedulian untuk itu.
Iron Stock (Calon Pemimpin)
Sesungguhnya ajaran Hindu telah mempersiapkan pemeluknya untuk menjadi pemimpin masa depan. Misalnya saja, melalui ritual rajaswala, seorang anak Hindu sudah mulai diingatkan untuk memulai hidup mandiri (swala) dan mulai belajar memimpin diri sendiri, yang ke depannya juga memimpin orang lain. Setelah menek bajang (akil balik), remaja-remaja Hindu sudah harus belajar menata dirinya, dan melatih diri untuk berperan di masa depan. Semuanya harus terobsesi untuk menjadi pemimpin, yang berani muncul di semua kondisi; tidak semata-mata di kalangan masyarakat Hindu. Tidak hanya menjadi jago kandang, tetapi juga jago di semua arena; karena “bibit” kualitas manusia Hindu memang sangat kompetitif. Pernyataan ini sangat argumentatif, nyatanya hanya manusia Hindu yang sebenarnya dimonitor terus keradaannya melalui ritual, sejak pengisian atman oleh Iswara, semasih dalam kandungan. Bahkan, hanya manusia Hindu yang meyakini bahwa sejak pengisian atman, para leluhur yang sudah sempurna bekerja keras untuk mewujudkan manusia yang berkualitas tinggi.
Berani duduk di depan, tidak hanya duduk di kursi barisan belakang, yang hanya berani berteriak rame-rame (suryak siu), tetapi berani tampil elegan dengan bahasa yang lugas tidak mencla-mencle. Jangan pernah membangun budaya basa-basi. Ini baru ciri-ciri mahasiswa Hindu yang pantas menjadi pemimpin. Untuk mempelajari konsep-konsep kepemimpinan, para mahasiswa perlu banyak membaca pustaka-pustaka seperti Nitisastra, Arthasastra dan lainnya. Malas membaca adalah petaka bagi mahasiswa Hindu, dan ini berarti kehancuran Hindu. Jadilah manusia-manusia yang berkarakter Hindu sejati.

SATYAM EVA JAYATE!!!

Tidak ada komentar :

Posting Komentar