PERAN MAHASISWA HINDU DALAM MEMBANGUN UMAT
"te sūnavaḥ svapsaḥ
sudasaso
mahī jañur mātarā pūrvacittaye
sthātuś ca satyam jagatas ca dharmaṇi
putrasya pāthaḥ padama advayāvinaḥ"
mahī jañur mātarā pūrvacittaye
sthātuś ca satyam jagatas ca dharmaṇi
putrasya pāthaḥ padama advayāvinaḥ"
"Putra-putra (generasi
muda) ini amat giat dan memiliki kemampuan
yang mengagumkan, menghormati orang tuanya dan taat terhadap perintah
(nasehat) nya. Mereka maju untuk kesejahtraan semua mahluk, yang senantiasa menunjukkan diri sebagai putra yang penuh aktivitas" (Ṛgveda I.159.3)
yang mengagumkan, menghormati orang tuanya dan taat terhadap perintah
(nasehat) nya. Mereka maju untuk kesejahtraan semua mahluk, yang senantiasa menunjukkan diri sebagai putra yang penuh aktivitas" (Ṛgveda I.159.3)
Seperti apa yang dijelaskan dalam Veda diatas, bahwa
generasi muda adalah orang-orang yang giat, memiliki kemampuan mengagumkan,
beretika, berbuat untuk kepentingan semua makhluk, dan juga generasi yang penuh
aktivtas, dalam hal ini sebagai mahasiswa Hindu seharusnya kita mampu
mengimplementasikan apa yang telah tersirat dalam ajaran veda dan hakikat kita
sebagai seorang mahasiswa yang menyandang predikat sebagai kaum Intelek atau
kaum terpelajar.
Namun pada kenyataanya hari ini apa yang disebutkan
diatas masih jauh dari harapan kita, Dalam
dunia keorganisasian di lingkungan kampus, baik di lingkup jurusan, fakultas
atau universitas, gaung dan eksistensi seorang mahasiswa hindu ternyata masih minim. Bisa
dilihat dari kurangnya peran aktif mahasiswa hindu di posisi strategis dalam
struktur organisasi kampus (BEM, himpunan jurusan, keluarga mahasiswa, kelompok
ke-hobi-an, UKM, dsb.) Hal
ini menjadikan kurang “terkenal”nya Mahasiswa hindu dalam kontestasi pergaulan dunia keorganisasian
kampus.
“Ah, males ikut yang
begituan. Ga jelas. Ga nyambung sama orang-orangnya. Mending kuliah yang rajin,
cepat lulus dan langsung kerja di perusahaan asing. Gajih gede. Nikah deh..”.
Ya! Kira-kira begitu ilustrasi jawaban seseorang mahasiswa hindu ketika diajak
berbicara tentang organisasi,
Tapi realitanya memang begitu, masih banyak mahasiswa yang ternyata antipati
terhadap keberadaan organisasi kampus. Keberadaan organisasi dianggap tidak terlalu
berpengaruh terhadap kepentingannya. Belum lagi desakan dari orang tua
mahasiswa di kampung yang mendesak lulus sesegera mungkin karena biaya
pendidikan yang semakin tinggi, biaya hidup di dunia
rantau yang semakin menjadi-jadi sudah mencekik perekonomian keluarga. Semakin cepat lulus,
semakin baik, beban orang tua sebagai “penyuplai” materi finansial ke dunia
rantau selama ini bisa lebih ringan apalagi bisa langsung kerja. Luar biasa,
nak! Itu impian sebagian besar orang tua mahasiswa.
Semangat
untuk berorganisasi dan menjadi aktivis kampus memang masih redup di kalangan Mahasiswa hindu. Padahal sejatinya,
banyak “sesuatu” yang baru yang sulit atau mungkin tidak bisa kita pelajari
dari pustaka manapun. Ini semua terkait dengan softskill kita dalam rangka
menunjang karier di masa depan. Perlu diketahui, tidak melulu dengan
bermodal Indeks Prestasi 3,8 atau bahkan mencapai 4 seseorang bisa mendapatkan
posisi karier masa depan yang diimpikan. Semua kembali lagi kepada pengalaman,
kerja keras, semangat juang dan “jam terbang” seseorang saat berada dalam
“kawah candradimuka” kampus. Sehingga ketika terjun dalam dunia kerja, siap
mengimplementasikan ilmunya di masyarakat dengan visi-visi perdamaian
kemanusiaan. Di dalam organisasi-lah mental seseorang bisa ditempa, sebagai
tempat mengaktualisasi diri, berinteraksi dengan semua orang, mempelajari
berbagai karakter individu, bernegosiasi, ilmu manajemen, kecakapan mengelola
waktu dan menambah networking. Perlu diingat lagi, sebagai mahasiswa Hindu, kita adalah
individu-individu pilihan yang sebelumnya telah bersaing dengan ribuan orang melalui proses
seleksi masuk perguruan tinggi
yang ketat, kita adalah orang-orang beruntung karena tidak semua orang memiliki
kesempatan yang sama menjadi seorang mahasiswa Ya toh? So, tunggu apa lagi?
Gunakan sebaik-baiknya kesempatan emas ini untuk selalu meng-upgrade diri.
Suatu saat, kita semua menetas sebagai individu-individu yang bersama berjibaku
untuk membangun bangsa.
Mahasiswa,
selain sedang mengecap dunia akademis yang menjadikannya berpikir empiris dan
teoretis, serta tidak terikatnya kepada berbagai kepentingan, seyogyanya
menjadikan mahasiswa Hindu memiliki perspektif dan pandangan luas untuk dapat
bergerak di semua lapisan masyarakat.
Sehingga tidak berlebihan, ketika kepada mahasiswa disematkan predikat
agent of changes (agen perubahan), agent of social control (agen kontrol
sosial), dan iron stock (calon pemimpin). Tidak perlu muluk-muluk, paling tidak
tiga merk ini bisa dijadikan sebagai pembentuk karakter mahasiswa Hindu, selain
banyak lagi poin-poin yang menjadikan mahasiswa berkarakter. Namun landasan
terpenting dari semuanya itu hanya satu kata, yang kini telah dilupakan, yaitu
KEJUJURAN.
Agent
of change
Sudahkah
kita sebagai mahasiswa Hindu menyadari perannya atau setidaknya berkontribusi
sedikit pada sebuah perubahan? Misalnya dari tiga kerangka dasar agama Hindu,
sudahkah mahasiswa Hindu berpikir untuk mengkaji beberapa poin dari tatwa, lalu
dengan cerdas meneliti implementasinya dalam masyarakat Hindu, lalu berpikir
pula untuk mengembangkannya dengan landasan dharma sidhyartha (iksa, shakti,
desa, kala, tatwa). Sudahkah mahasiswa mencoba meneliti sejauh mana etika
sebagai perekat antara tatwa dan acara, sudah terimplementasi dalam interaksi
sesama umat Hindu? Mahasiswa Hindu harus berani menjadi pionir-pionir
perubahan. Tentu, yang pertama adalah berani merubah perilaku diri sendiri,
sehingga mempunyai brand atau merk sebagai identitas manusia Hindu. Bahkan
harus siap tampil beda, jangan dengan mudah menjual diri, melacurkan
intelektualitas yang sudah sejak awal berpondasikan kehinduan. Kemudian
dilanjutkan dengan membangun kemandirian, sebagai modal penting untuk
menawarkan perubahan kepada lingkungan, khususnya masyarakat Hindu. untuk itu
diperlukan penguasaan etika, cara-cara yang elegan, santun dan konsisten. Modal
untuk menumbuhkan keberanian sebagai agent of changes di masyarakat akan
didapatkan di kampus selama masa pendidikan; oleh karena itu pembelajaran
selama periode di kampus bukan hal yang remeh. Kampus bukan tempat untuk
istirahat, tetapi untuk menempa diri. Banyak sekali yang bisa dijadikan obyek
yang sudah selayaknya mengalami perubahan sebagai bagian dari riset dan
pengembangan Hindu. Tetapi semua itu harus bermula dari tiga kerangka dasar
tadi.
Agent of Social Control
Kebiasaan yang sudah dipupuk untuk tidak mau tahu
terhadap gejolak-gejolak sosial di kalangan masyarakat Hindu harus menjadi
perhatian para mahasiswa. Ketidakpedulian terhadap kondisi umat Hindu di banyak
wilayah di Indonesia ataupun di lingkungan kampus sendiri juga tidak boleh
diabaikan begitu saja. Diperlukan kepekaan sosial terhadap semua yang terjadi,
khususnya menyangkut kondisi sosial umat. Tidak perlu jauh-jauh, di sekitaran
kita saja, misalnya, tidak sedikit umat Hindu yang kondisi sosial ekonominya
sangat tertinggal, sehingga tidak mampu menyekolahkan anaknya. Kondisi ini
tidak muncul ke permukaan, karena mereka malu, dan merasa tersisih serta
terpinggirkan. Ini juga harus menjadi perhatian bersama.
Jangan pernah berpikir bahwa anda telah melaksanakan
kewajiban sebagai umat Hindu secara utuh, karena secara individu telah
melakukan berbagai kegiatan. Selama, ruang lingkupnya individu, maka
sesungguhnya anda baru melaksanakan dharma sebagian saja, belum seutuhnya. Anda
baru melaksanakan swadharma anda sebagai mahluk individu, belum sebagai mahluk
sosial. Anda masih punya kewajiban yang belum terlaksana terhadap umat Hindu
lain, khususnya yang membutuhkan uluran tangan. Jangan biarkan mereka ber Hindu
sendirian, jangan mengangkangi kehinduan sendirian pula. Mahasiswa harus
menjadi bagian dari kontrol sosial walaupun dalam lingkup terbatas, misalnya,
untuk memonitor dengan kepekaan terhadap kondisi sosial tadi. Lalu,
menganalisanya, mendiskusikannya dan berupaya menyampaikan kepada otoritas,
dalam hal ini lembaga-lembaga yang punya kepedulian untuk itu.
Iron Stock (Calon Pemimpin)
Sesungguhnya ajaran Hindu telah mempersiapkan pemeluknya
untuk menjadi pemimpin masa depan. Misalnya saja, melalui ritual rajaswala,
seorang anak Hindu sudah mulai diingatkan untuk memulai hidup mandiri (swala)
dan mulai belajar memimpin diri sendiri, yang ke depannya juga memimpin orang
lain. Setelah menek bajang (akil balik), remaja-remaja Hindu sudah harus
belajar menata dirinya, dan melatih diri untuk berperan di masa depan. Semuanya
harus terobsesi untuk menjadi pemimpin, yang berani muncul di semua kondisi;
tidak semata-mata di kalangan masyarakat Hindu. Tidak hanya menjadi jago
kandang, tetapi juga jago di semua arena; karena “bibit” kualitas manusia Hindu
memang sangat kompetitif. Pernyataan ini sangat argumentatif, nyatanya hanya
manusia Hindu yang sebenarnya dimonitor terus keradaannya melalui ritual, sejak
pengisian atman oleh Iswara, semasih dalam kandungan. Bahkan, hanya manusia Hindu
yang meyakini bahwa sejak pengisian atman, para leluhur yang sudah sempurna
bekerja keras untuk mewujudkan manusia yang berkualitas tinggi.
Berani duduk di depan, tidak hanya duduk di kursi barisan
belakang, yang hanya berani berteriak rame-rame (suryak siu), tetapi berani
tampil elegan dengan bahasa yang lugas tidak mencla-mencle. Jangan pernah
membangun budaya basa-basi. Ini baru ciri-ciri mahasiswa Hindu yang pantas
menjadi pemimpin. Untuk mempelajari konsep-konsep kepemimpinan, para mahasiswa
perlu banyak membaca pustaka-pustaka seperti Nitisastra, Arthasastra dan
lainnya. Malas membaca adalah petaka bagi mahasiswa Hindu, dan ini berarti
kehancuran Hindu. Jadilah manusia-manusia yang berkarakter Hindu sejati.
SATYAM
EVA JAYATE!!!
Tidak ada komentar :
Posting Komentar